Indonesia, Contohlah Korea Selatan dan Jepang - Seputar Pilkada
Headlines News :

tabloid pulsa

Tabloid PULSA

Infolinks In Text Ads

Infolinks

INFOLINKS

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Home » » Indonesia, Contohlah Korea Selatan dan Jepang

Indonesia, Contohlah Korea Selatan dan Jepang

Written By Unknown on Rabu, 10 April 2013 | 05.11



KOMPAS.com - Kita semua tahu, tidak ada yang instan di dunia ini kecuali produk mie siap saji. Dan umumnya, segala sesuatu yang instan tidak memiliki kualitas fungsional yang baik, sebut saja misalnya hubungan interpersonal, hubungan lawan jenis, makanan, kesuksesan, kekayaan, dan yang akan kita bahas di sini, sepakbola.

Indonesia adalah negara yang kaya, baik dalam hal sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sudah menjadi rahasia umum bila Indonesia menjadi surga bagi pelancong-pelancong dari berbagai negara. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa Indonesia merupakan target pasar potensial bagi dunia internasional.

Populasi Indonesia berkisar lebih dari 200 juta orang. Soal sepak bola, tentunya, kita sudah sering mendengar sebuah jargon lelucon khas masyarakat Indonesia mengenai sepakbola: “Ada 200 juta orang di negara ini, masa mencari 11 orang yang digdaya di atas lapangan bola aja susah amat??”

Ya, begitulah kondisi persepakbolaan Indonesia. Mungkin, rata-rata masyarakat menganggap remeh jargon di atas, tetapi sejatinya, jika kita mendalami lagi, jargon tersebut sungguh merupakan input nyata bagi persepakbolaan tanah air.

Dalam ilmu ekonomi, manusia adalah modal, yang diwakilkan dengan istilah labor atau tenaga kerja. Jika kita bandingkan lagi seluruh faktor produksi (modal) dengan modal “manusia”, kita akan sepakat bahwa manusia adalah modal yang mahadahsyat dibandingkan modal lain, misalnya uang, tanah, dan lain-lain. Karena di dalam diri manusia terdapat kekuatan yang tak terbatas, yaitu akal dan rasa.

Kembali ke kasus sepakbola. Di dalam industri sepakbola pun terjadi proses produksi yang sama dengan industri yang lain. Pertanyaan krusialnya adalah, mengapa Indonesia tidak pernah belajar memaksimalkan modal 200 juta manusia ini di dalam persepakbolaannya? Jika dibandingkan dengan negara Belanda, populasi mereka hanya 17 juta jiwa, bagaimana mungkin dengan hanya bermodal 17 juta jiwa mereka bisa menjadi negara yang superior di sepakbola? Jawabannya adalah: akal. Bangsa mereka telah mempelajari ilmu manajemen lebih dulu dari negara kita. Persepakbolaan mereka pun lebih dulu mereka pelajari, dibandingkan dengan kita. Mungkin terlalu jauh jika membandingkan dengan Belanda, oke, bandingkan saja dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Apakah posisi sepakbola Indonesia saat ini lebih baik dari ketiga negara tetangga tersebut? Tentu semua sepakat, tidak.

Pembanding lain yang sungguh hebat dan sangat rasional adalah Korea Selatan, dan Jepang. Mengambil ilmu teori relativitas Einstein, tentu sangat sah jika Indonesia dibanding-bandingkan dengan 2 negara tersebut, secara sepakbola. Jepang bukanlah negara sepakbola, dengan kata lain, olahraga paling populer di sana bukanlah sepakbola, melainkan baseball. Sedangkan di Indonesia, olahraga paling populer adalah sepakbola. Populasi Jepang dan Korea Selatan pun di bawah populasi Indonesia. Namun, saat ini, mereka telah menjadi raja sepakbola di Asia. Salah satu indikasinya adalah semakin meningkatnya pemain yang mereka "ekspor" negara-negara Eropa. Dan yang lebih signifikan lagi, jumlah pemain Jepang dan Korsel yang bermain reguler di tim-tim Eropa telah meningkat.

Sekitar 1-2 dekade lalu, Jepang dan Korea Selatan memang sudah mengekspor pemainnya ke Eropa, namun peran mereka hanya sebatas pemain rotasi, sedangkan saat ini sudah banyak sekali pemain Jepang dan Korsel yang berperan lebih menjadi pemain utama (key player) di liga Eropa, sebut saja Shinji Kagawa, Maya Yoshida, Atsuto Uchida, Eiji Kawashima, Yuki Abe, Ki Seung Yeung, Park Ji Sung, Lee Chung Yong, dan Park Chu Young.

Dahulu, pemain Asia dianggap minor, namun sekarang, seorang Kagawa dengan sentuhan magisnya dapat mengecoh 2-3 orang eropa. Dahulu, pemain asia dianggap lemah, namun saat ini palang pintu utama Southampton adalah seorang berkewarganegaraan Jepang. Inilah dahsyatnya “akal” manusia. Dengan ilmu manajemen Jepang dan Korsel yang brilian, mereka dapat menebus vonis 1-2 dekade lalu.

Ya, kunci dari kemajuan sepakbola Jepang dan Korea Selatan sangatlah simpel, yaitu ilmu manajemen yang baik. Secara khusus, ilmu manajemen sepakbola tersebut adalah Liga Profesional yang baik yang “dikemas” semenarik mungkin.

J-League adalah liga sepakbola profesional Jepang yang pertama kali beroperasi pada tahun 1993, sementara liga profesional Indonesia dimulai pada 1994. Pada tahun yang sama, Korea Selatan belum memiliki liga sepakbola yang ideal, saat itu K-League hanyalah berjumlah 7 klub saja. Baru pada 1998 Korea Selatan membuat liga yang lebih profesional, dengan me-reformat K-League sehingga ada 16 klub yang berpartisipasi di dalamnya. Kurang lebih, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia mulai membangun sepak bola pada periode yang sama.

Dari segi industrialisasi sepakbola, tentu saja Jepang dan Korea Selatan telah menjelmakan industri sepakbola mereka yang tadinya bersifat amatir, menjadi profesional. Semua unsur penjualan seperti merchandising, tiket stadion, hak siar, dan sponsorship telah berjalan dengan baik dan mandiri. Sedangkan di Indonesia, sempat ada fenomena untuk mengindustrialisasikan sepakbola, atau dengan kata lain menjadikan sepakbola sebagai industri yang besar dan menjanjikan. Ide tersebut muncul dengan kedatangan LPI (Liga Primer Indonesia), yang justru dilihat sebagian orang sebagai ‘benalu’, padahal kemunculan liga pesaing tersebut jika ditelaah lebih dalam lagi adalah baik bagi kemajuan sepakbola Indonesia, karena LPI menawarkan unsur-unsur baru di dalamnya, seperti standardisasi infrastruktur, kemandirian finansial (klub tidak terikat APBD), sponsorship, dan pemasaran yang baik. Fenomena ini persis saat kedatangan Shell, Petronas, dan Total untuk menyaingi Pertamina, dan kemudian Pertamina mereformasi diri sehingga terciptalah kemajuan yang baik bagi Pertamina sendiri. Seperti itulah kira-kira asosiasinya, antara LPI dan ISL (Indonesian Super League). Sepakbola memang seharusnya sudah menjadi industri, karena 200 juta rakyat di Indonesia rata-rata adalah ‘penggila bola’ sejati. Dan lagi-lagi, hal ini adalah modal.

Sepakbola Indonesia ditengarai "tertinggal" 1-2 dekade dibandingkan negara lain. Malaysia sudah memiliki liga sepakbola yang lebih baik dan profesional, dan terbukti timnas mereka akhir-akhir ini bisa melaju ke final, dan bahkan dapat mengalahkan ‘saudara tuanya', Indonesia. Dahulu, Malaysia bukanlah siapa-siapa di ASEAN, mereka sudah pasti dikalahkan oleh Indonesia, namun saat ini keadaannya sudah berbalik. Indonesia seakan berjalan di tempat. Tentu tidak ada yang senang dengan situasi ini, namun itulah kenyataan yang harus kita terima. Terima dan akuilah bahwa sepakbola kita saat ini telah tertinggal oleh Malaysia, janganlah marah, justru seharusnya Indonesia berpikir, berpikir, berpikir, dan berubah.

Dari segi permainan di atas lapangan pun, Indonesia selalu tertinggal. Di era tahun 2000 awal, beberapa klub di Indonesia masih nyaman menggunakan pola formasi 3-5-2, sedangkan pada saat itu tim-tim lain telah menemukan formula 4-4-2. Pola 3-5-2 ini pun memang meniru Jerman yang pada tahun 1990 menjuarai Piala Dunia. Begitupun saat ini, ketika tim-tim lain mulai berani memainkan gaya possesion football dari kaki ke kaki, tim-tim di Indonesia masih saja setia dengan gaya “kick n rush” yang semakin kurang menarik. Industri sepakbola di negara lain sudah menerapkan science di sepakbola, yaitu dengan menggunakan statistik sebagai acuan, namun di Indonesia belum dapat ditemukan data statistik yang spesifik dan mumpuni. Memang sah-sah saja jika hal itu tak diubah, namun menjadi masalah dan perlu dipertimbangkan mengingat sepakbola Indonesia mengalami "mati suri" yang cukup lama.

Persepakbolaan Indonesia mengalami ketidakstabilan yang cukup lama dan sangat ‘mengganggu’. Konseptor dan regulator sepakbola di Indonesia mempeributkan kekuasaan. Imbasnya adalah kompetisi yang tidak berjalan dengan stabil. Tim nasional Indonesia pun berantakan. Ada satu kunci yang dapat membereskan semua ini, dan semoga saja mereka sadar, kuncinya adalah cintailah sepakbola, bukan mencintai jabatannya, uangnya, atau kekuasaannya. Semoga, Indonesia kembali bangkit, minimal di Asia Tenggara.

Jepang dan Korea Selatan membuktikan, bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, asalkan kita semua juga sadar, tidak ada yang instan. Jepang dan Korea Selatan menjadikan kompetisi domestik (liga) sebagai tulang punggung, dan menjadikan pembinaan usia muda sebagai ‘nutrisi’-nya. Semuanya tidak akan berhasil instan tanpa proses panjang yang konsisten dan tentu saja pengorbanan bukan motivasi cari untung dari pengurus, karena publik terbukti selalu rela berkorban. Terlebih, kembali lagi, Indonesia memiliki modal yang sangat bernilai, yaitu 200 juta populasi yang rata-rata menggemari sepakbola.

Kompetisi yang konsisten adalah basis utama di dalam olahraga prestasi. Jika ingin sepakbola Indonesia meningkat pesat, terapkanlah manajemen yang baik di dalam kompetisinya. Nantinya, dengan manajemen yang exellence, bibit-bibit unggul akan muncul, prestasi timnas naik, pemain-pemain Indonesia diimpor, industri sepakbola meningkat, orang tua Indonesia tidak khawatir lagi jika anaknya bercita-cita menjadi pesepakbola, dan yang terpenting: Indonesia masuk Piala Dunia. Siapa yang tidak senang jika Indonesia masuk Piala Dunia? Namun, selama kompetisi di Indonesia masih “acak-acakan” dan tidak profesional, Piala Dunia hanyalah sebuah mimpi di siang bolong. sumber
Share this article :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

SPONSOR

networkedblogs

tabloidpulsa

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Seputar Pilkada - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya