JAKARTA, (PRLM).-Sejumlah kelompok masyarakat sipil mengusulkan agar aturan pembatasan dana kampanye dalam pemilihan kepala daerah diatur dalam Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang kini tengah dibahas di tingkat Panitia Kerja DPR.
Pembatasan dana kampanye dipercaya dapat mengurangi korupsi di daerah karena dapat menekan peluang calon kepala daerah tersandera politik akibat sumbangan dana yang terlalu besar dari para sponsornya selama kampanye.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto menyayangkan isu pembatasan dana kampanye tidak termasuk dalam enam poin krusial yang dibahas dalam RUU Pilkada.
Padahal, tidak dibatasinya dana kampanye pilkada membuat banyak calon kepala daerah yang terjerat kasus korupsi akibat “utang politik” selama masa kampanye kepada para sponsornya.
“Mendagri sudah berulangkali mengakui bahwa biaya politik dalam pilkada itu sudah terlalu mahal. Banyak kasus korupsi di daerah terjadi karena para kepala daerah terpilih harus membayar utang selama kampanye. Maka dengan adanya pembatasan dana kampanye, transaksi politik pascapilkada dapat dihindari jika dari awal, dana kampanyenya dibatasi,” ujarnya dalam Diskusi Media “Mencegah Korupsi Politik Dengan Pembatasan Belanja Kampanye Pemilukada” di Bakoel Cafe, Jln. Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (1/6/2013).
Berdasarkan data yang diungkap Kementerian Dalam Negeri, hingga tahun 2012, ada 280 kepala daerah yang menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana kasus korupsi. Rata-rata kasusnya karena korupsi APBD.
Selama ini UU hanya mengatur batas sumbangan dana kampanye, yaitu perseorangan maksimal Rp 50 juta dan badan hukum swasta maksimal sebesar Rp 350 juta.
Namun, sumbangan dari pasangan calon dan partai politik/gabungan partai politik tidak terbatas. Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Reza Syawawi berpendapat bahwa politik biaya tinggi yang dialami oleh para calon kepala daerah itu membuat mereka tersandera sehingga menelurkan kebijakan koruptif ketika mereka menjabat.
“Selain melalui korupsi APBD, pola korupsinya adalah jual beli kewenangan, perizinan atau konsesi tambang,” ujar Reza.
Untuk memecah kebuntuan secara teknis terkait pembatasan dana kampanye itu, Didik mengusulkan, dana kampanye sebaiknya diatur berdasarkan jumlah pemilih.
Berdasarkan rerata biaya kampanye pileg 2009, dana kampanye per pemilih diusulkan sebesar Rp 1000/pemilih. Jadi, misalnya untuk daerah yang jumlah pemilihnya 1 juta orang, maka dana kampanye calon kepala daerah maksimal sebesar Rp 1000 kali 1 juta orang atau Rp 1 miliar.
Penyelenggara pemilu juga harus menetapkan sanksi bagi kandidat yang melebihi dana kampanyenya melebihi ketentuan.
“Secara teknis, ini tidaklah susah, masalahnya mau atau tidak. Intinya ada di parpol yang tidak mau adanya pembatasan dana kampanye. Parpol justru menjadikan ajang kampanye untuk mencari uang,” tuturnya.
Dalam diskusi itu juga terungkap bahwa masalah transparansi dana kampanye masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data resmi yang dilaporkan partai politik/kandidat pada umumnya tidak sesuai dengan fakta. Parahnya, aturan juga tidak mengakomodasi verifikasi faktual terhadap laporan partai/kandidat kepada penyelenggara pemilu.
Berdasarkan pelaporan dana kampanye pada pileg 2009, rata-rata partai menghabiskan dana sebesar Rp 91,84 miliar. Berdasarkan studi yang dilakukan ICW misalnya, Partai Golkar menghabiskan dana hampir Rp 300 miliar hanya untuk belanja iklan. Namun, dana kampanye mereka yang dilaporkan ke KPU hanya Rp 145,58 miliar.(lihat Tabel)
Transparansi dana kampanye dalam pileg 2014 diprediksi akan sama buruknya dengan yang terjadi di pileg 2009. Sebab, saat ini hampir semua grup media berafiliasi politik kepada partai politik tertentu.
Didik mencontohkan, media grup Metro TV berafiliasi kepada Partai Nasdem di bawah Surya Paloh; Media grup TV One/Viva kepada Partai Golkar; MNC Grup berafiliasi kepada Hanura.
“Pasti akan banyak belanja iklan dan ‘iklan terselubung’ yang tidak dilaporkan kepada KPU. Jadi dari segi transparansi, pemilu nanti akan sama buruknya dengan pemilu 2009,” ujar Didik.
0 komentar :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !