Demokrasi ala Bondowoso - Seputar Pilkada
Headlines News :

tabloid pulsa

Tabloid PULSA

Infolinks In Text Ads

Infolinks

INFOLINKS

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Home » » Demokrasi ala Bondowoso

Demokrasi ala Bondowoso

Written By Unknown on Kamis, 09 Mei 2013 | 04.53



Pemilihan umum kepala daerah di Bondowoso diakhiri dengan pemungutan suara, Senin (6/5/2013) lalu. Hasilnya sesuai dengan perkiraan banyak orang. Calon petahana yang saat ini masih menjabat bupati, Amin Said Husni, hampir bisa dipastikan akan memimpin Bondowoso kembali pada 2013-2018.

Berpasangan dengan tokoh Nahdlatul Ulama setempat, KH Salwa Arifin, Amin mendulang dukung 80,49 persen suara. Pasangan kandidat lainnya, Mustawiyanto dan Abdul Manan, hanya mendulang 20,51 persen. Hasil ini sesuai dengan hasil penghitungan 'Desk' Pilkada Bondowoso dan hitung cepat lembaga survei Proximity. Angka partisipasi publik sekitar 66,14 persen.

Berakhirnya pemilukada Bondowoso ini menandai munculnya era 'baru tapi lama' model demokrasi Indonesia yang patut dicermati: demokrasi aklamasi atau demokrasi musyawarah mufakat. "Undang-Undang yang ada saat ini kan, (dalam pemilukada) harus ada kompetitor. Saya juga sudah usulkan ke Mendagri, kalau tidak ada kompetitor setelah diberi tambahan waktu dan diumumkan tiga kali tetap tidak ada, ya aklamasi melalui musyawarah mufakat. Ini prinsip musyawarah mufakat yang harus dikedepankan dalam sistem demokrasi kita," kata Soekarwo saat itu.

Besarnya pengaruh bandar judi dalam perhelatan politik, macam pemilihan kepala daerah, jadi salah satu alasan munculnya wacana ini. Soekarwo memaparkan kasus unik dalam proses salah satu pemilihan kepala desa di Kabupaten Tulungagung, Jatim. Di desa itu, tak ada warga yang mau mencalonkan diri menjadi kepala desa kecuali sang petahana alias kades yang sedang menjabat. Tak ada lawan, maka sang petahana terpaksa mengajukan istrinya untuk maju sebagai kompetitor agar dia tidak bersaing dengan 'bumbung kosong'.

Proses pemilihan ternyata dimainkan oleh para pejudi. sehingga yang menjadi pemenang justru sang istri yang tidak memiliki pengalaman organisasi dan kepemimpinan. "Kemenangan istri kepala desa dalam pilkades itu jelas bukan contoh yang baik karena tidak ada nilai (value) yang bagus dalam sistem berdemokrasi. Karena itu diperlukan exit policy (jalan keluar kebijakan) dalam sistem demokrasi yang kita anut saat ini," kata Soekarwo, usai mengikuti rapat paripurna di DPRD Jatim, Kamis (18/10/2012) lalu.

Soekarwo pun rajin turun menjalin komunikasi dan menggalang dukungan dari sejumlah partai politik, terutama partai politik parlemen, jelang pemilihan gubernur. Hasilnya tokcer. Mayoritas partai politik di Jawa Timur memilih mendekat ke Soekarwo yang siap kembali berduet dengan Saifullah Yusuf pada pemilihan gubernur nanti.

Saifullah sendiri menilai apa yang dilakukan Soekarwo bukan upaya mengaklamasikan politik. "Di sini bukan politik aklamasi. Kami kalau terpilih ingin didukung parlemen yang kuat. Pemerintah tak bisa sendirian. Gubenur tak bisa sendirian membangun Jawa Timur," kata pria yang akrab disapa Gus Ipul ini. Melalui komunikasi, diharapkan semua parpol akan mendukung Karsa jika terpilih kembali.

Kasus pilkada Bondowoso layaknya sebuah laboratorium politik. Praktis setelah sejumlah kandidat lain yang diusung koalisi partai maupun independen tak memenuhi syarat, hanya Amin Said Husni - Salwa Arifin yang dipastikan bakal lolos sebagai peserta. Padahal undang-undang mensyaratkan minimal dua pasangan calon kepala daerah agar bisa berlanjut.

Maka, Amin memunculkan Mustawiyanto dan Abdul Manan, yang notabene pendukungnya sendiri, sebagai kandidat bupati dan wakil bupati untuk ikut serta dalam pemilukada. Ikhtiar ini dilakukan karena tak ingin pemilukada tertunda. Kemunculan Mustawiyanto dan Abdul Manan ini tentu saja memantik kontroversi. Sejumlah pihak menuding ini mereka calon boneka atau calon bayangan. Tudingan ini menemui pembenarannya, setelah Mustawiyanto sendiri mengaku, bahwa pencalonannya untuk memuluskan pencalonan Aswaja (julukan Amin Said dan Salwa). "Saya dilarang berkampanye," katanya.

Amin Said sendiri merasa tidak melanggar aturan saat memunculkan Mustawiyanto - Manan sebagai pasangan calon. "Justru kami menyelamatkan demokrasi, agar proses pemilukada berjalan, masyarakat dalam keadaan tenang, dan kepemimpinan sesuai undang-undang terpilih secara demokratis. Perspektif yang kita pakai harus dilandasi aturan yang ada. Kami di Bondowoso sudah mengikuti semua tahapan," katanya.

Perdebatan mengenai keabsahan Mustawiyanto - Manan sebagai kandidat bupati dan wakil bupati ini pada akhirnya menyentuh ranah regulasi formal dan etika politik. Dari sisi regulasi formal, apa yang dilakukan Amin dengan memunculkan kandidat bayangan tidaklah keliru, selama tak menabrak aturan.

Mustawiyanto dan Manan dicalonkan oleh Partai Kebangkitan Nasional Ulama yang saat pendaftaran diketuai oleh tim sukses Aswaja sendiri, Ahmad Dhofir. Jumlah persentase perolehan kursi partai tersebut memenuhi syarat minimal 15 persen untuk mengusung calon sendiri. KPU Bondowoso pun tak punya wewenang untuk menolak pencalonan mereka. "Kami hanya berpegang pada aturan administratif, dan tidak mengurusi politik internal partai," kata Hadi Ismanto, salah satu komisioner.

Tak Lazim

Namun dari sisi etika politik, langkah Amin Said ini tentu saja sangat jauh dari kelaziman. Landasan dasar demokrasi adalah kebebasan individual dalam menentukan pilihan. Opsi-opsi pilihan itu diandaikan muncul secara alamiah dalam proses yang wajar tanpa intervensi kekuasaan manapun. Partai politik sebagai salah satu perangkat penting dalam demokrasi berfungsi merekrut dan memunculkan orang-orang terbaik dan berkulitas yang lahir dari rahim kaderisasi partai untuk memimpin publik.

Dalam konteks pemilukada Bondowoso, opsi pilihan memang tersedia untuk rakyat. Namun, ini bukan opsi yang sepenuhnya muncul dari kehendak bebas dan proses natural. Opsi yang muncul tanpa melalui proses natural hampir bisa dipastikan bukanlah opsi terbaik. Mustawiyanto dan Manan, diakui atau tidak, bukanlah kandidat terbaik yang layak dipertandingkan dengan Amin dan Salwa.

Ini diakui sendiri Mustawiyanto. Ia menyatakan minder alias tak percaya diri. "Bagi kami, seumpama sebuah medan pertempuran, pemilukada 6 Mei 2013, bukanlah sebuah keniscayaan bagi kemungkinan menang-kalah, antara politisi senayan melawan politisi DPRD kabupaten, antara rois syuriah tingkat cabang dengan rosi syuriah MWC (Majelis Wakil Cabang atau tingkat kecamatan)," katanya saat pemaparan visi dan misi di depan sidang paripurna DPRD Bondowoso.

"Peperangan sejatinya adalah melawan diri (persona) masing-masing, dari generasi yang lahir dari rahim yang sama. Bagaimana pun, Saudara Drs. H. Amin Said Husni adalah kakak senior bagi kekaderan kami, dan KH. Drs. Salwa Arifin adalah guru dan sekaligus kiai panutan kami," kata Mustawiyanto.

Amin Said berpendapat seharusnya ruang aklamasi dan musyawarah mufakat dibuka dalam pemilukada. "Musyawarah mufakat bagian demokrasi. Dalam sistem kultur masyarakat kita, justru musyawarah mufakat pilar demokrasi. Kita kan punya kearifan lokal, bagaimana demokrasi tetap berjalan dan masyarakat tetap tenang, melakoni kehidupan secara nyaman, serta pemerintah tetap bisa melaksanakan pembangunan," katanya.

Amin mengaku pernah berdiskusi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD beberapa waktu lampau. "Beliau secara pribadi menyampaikan, bahwa dalam pemilukada semestinya dibuka ruang untuk musyawarah mufakat, tidak harus voting," katanya.

Amin benar. Tidak ada yang salah dengan model pemilihan aklamasi memang. Ini boleh jadi alternatif tepat untuk menghemat anggaran pemilukada. Namun model seperti ini bukannya tanpa kelemahan atau lubang besar. Pertama, dari sisi preferensi pilihan: adakah jaminan bahwa preferensi partai-partai politik terhadap satu kandidat tertentu merupakan preferensi rakyat, atau minimal preferensi massa pendukung partai tersebut.

Menurut saya, perlu ada mekanisme yang baku dan tetap untuk memastikan, bahwa pilihan pengurus partai mendukung satu kandidat tertentu tidak bertentangan dengan pilihan mayoritas massa pendukungnya. Atau dengan kata lain: suara partai haruslah mencerminkan suara rakyat. Jangan sampai pengurus partai memilih calon tertentu karena dibeli dengan uang atau imbalan sejumlah materi tertentu.

Kedua, adakah jaminan proses politik menuju pemilihan aklamasi itu tidak meninggalkan nilai-nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini tentu menyangkut banyak hal. Salah satunya tidak ada upaya mengganjal calon lain yang muncul secara alamiah, dengan jalan menggembosi jumlah partai pendukungnya. Dalam pemilukada Bondowoso, Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan Irwan Bakhtiar merasa kandidatnya gagal maju karena digembosi dengan cara demikian.

Menurut Irwan, ada beberapa partai anggota koalisi yang mendadak mundur dari kesepakatan bersama untuk mencalonkan pasangan Haris Sonhaji dan Harimas. Alhasil, Haris dan Harimas gagal maju mencalonkan diri, karena total persentase raihan suara partai-partai pendukung saat pemilu 2009 tidak memenuhi syarat.

Terakhir, harus ada mekanisme bagi rakyat untuk menguji kompetensi dan kapasitas kandidat tunggal yang maju berdasarkan musyawarah mufakat dalam pemilukada. Artinya, masyarakat masih diberikan kesempatan untuk mengetahui, dan pada akhirnya memutuskan untuk menolak atau menerima kandidat hasil musyawarah mufakat partai -partai. Keputusan masyarakat untuk menolak atau menerima kandidat hasil musyawarah mufakat tersebut tidak membatalkan terpilihnya sang kandidat.

Ide praktisnya: bilik suara tetap dibuka dengan dua opsi bagi rakyat untuk memilih, yakni setuju atau tidak setuju terhadap kandidat hasil aklamasi partai-partai itu. Semakin banyak rakyat yang setuju, maka legitimasi kandidat hasil aklamasi itu semakin kuat. Jika banyak rakyat yang tidak setuju, maka itu akan menjadi bahan introspeksi bagi sang kandidat selama memimpin lima tahun ke depan.

Akhirnya, saya hendak mengutip kata-kata Mustawiyanto, sang kandidat bayangan dalam pilkada Bondowoso itu. Rasanya kata-kata ini layak didengarkan oleh pemangku kepentingan pemilukada mana pun, termasuk pemangku kepentingan pemilihan gubernur Jawa Timur. 

"Jangan sampai meniadakan rivalitas dalam proses pilkada. Calon yang muncul, biarkan itu terjadi secara natural. Jangan seluruh partai dirangkul sehingga tak ada calon lain dan memunculkan calon dari dalam koalisi sendiri. Karena itu proses yang sangat jelek dan sangat buruk bagi demokrasi kita," katanya.
Share this article :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

SPONSOR

networkedblogs

tabloidpulsa

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Seputar Pilkada - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya